Runtuhnya Uni Soviet pada akhir 1991 dan pecahnya Yugoslavia di Balkan menjadi dua preseden besar dalam sejarah politik modern tentang bagaimana negara majemuk dapat berakhir melalui jalur yang berbeda: sebagian relatif damai, sebagian lain berdarah. Dua pengalaman ini relevan untuk membaca dinamika Yaman hari ini, terutama bagi Pemerintahan Presidensial Leadership Council (PLC) di Aden dan Southern Transitional Council (STC) yang membawa agenda selatan.
Dalam kasus Uni Soviet, proses disintegrasi berlangsung cepat namun relatif terkendali. Rusia di bawah Boris Yeltsin memilih mengakhiri negara federal itu dari dalam, dengan menerima kenyataan bahwa republik-republik lain memiliki aspirasi kedaulatan sendiri. Rusia bertindak sebagai pusat lama yang “melepaskan” wilayah, bukan memaksakan persatuan dengan kekerasan luas.
Sebaliknya, Yugoslavia memperlihatkan pola berbeda. Serbia, sebagai republik terbesar dan pewaris inti negara, berupaya mempertahankan Yugoslavia melalui dominasi politik dan militer. Upaya itu justru memicu perang saudara berkepanjangan di Kroasia, Bosnia, dan Kosovo, serta mempercepat fragmentasi yang jauh lebih brutal.
Bagi PLC Yaman, dua contoh ini menawarkan cermin yang tajam. Jika Rusia diposisikan sebagai Serbia dalam analogi Yugoslavia, maka pelajaran utamanya adalah bahwa memaksakan kesatuan tanpa konsensus hanya akan mempercepat kehancuran negara. Negara yang rapuh secara ekonomi dan militer, seperti Yaman, tidak memiliki kapasitas untuk mengulang jalur Serbia tanpa risiko kehancuran total.
Pelajaran pertama dari Uni Soviet adalah pentingnya mengakui realitas politik di lapangan. Moskow menyadari bahwa republik-republik Baltik, Kaukasus, dan Asia Tengah tidak lagi dapat dipertahankan melalui struktur lama. PLC Yaman dapat belajar bahwa keberadaan STC dan identitas politik selatan bukan sekadar fenomena sementara, melainkan fakta sosial-politik yang harus diakui.
Pelajaran kedua adalah soal transisi institusional. Uni Soviet runtuh, tetapi negara-negara penerus segera membangun kerangka baru seperti CIS untuk mengelola pemisahan secara relatif tertib. PLC dapat meniru pendekatan ini dengan membangun mekanisme transisi, baik konfederasi, otonomi luas, atau pemisahan terkelola, sebelum konflik berubah menjadi perang terbuka antar faksi anti-Houthi.
Dari Yugoslavia, pelajaran yang lebih keras justru datang dari kegagalan. Serbia kehilangan legitimasi internasional karena menolak aspirasi republik lain dan mengandalkan kekuatan senjata. Akibatnya, Serbia tidak hanya kehilangan wilayah, tetapi juga mengalami sanksi, isolasi, dan trauma jangka panjang. Ini menjadi peringatan bagi PLC agar tidak mengulang logika “kesatuan dengan paksaan”.
Pelajaran ketiga bagi PLC adalah diplomasi internasional. Rusia, meski kehilangan wilayah luas, tetap diakui sebagai penerus legal Uni Soviet, termasuk kursi Dewan Keamanan PBB. Serbia gagal memperoleh posisi serupa karena citra agresor. PLC perlu memahami bahwa sikap terhadap selatan akan menentukan legitimasi internasional Yaman di masa depan.
Sementara itu, bagi STC, sejarah juga menyediakan pelajaran berbeda. Montenegro berhasil memisahkan diri dari Serbia pada 2006 melalui referendum yang diawasi internasional, tanpa perang besar. Kuncinya adalah kesabaran politik, legitimasi hukum, dan komunikasi yang intens dengan Beograd serta aktor global.
Kazakhstan menawarkan contoh lain yang lebih relevan secara struktural. Sebagai republik terakhir Uni Soviet yang merdeka, Kazakhstan tidak memutus hubungan secara konfrontatif dengan Moskow. Transisi dilakukan bertahap, dengan menjamin stabilitas, perlindungan minoritas, dan kesinambungan ekonomi. Hasilnya, kemerdekaan diterima tanpa konflik bersenjata.
Pelajaran pertama bagi STC adalah membangun legitimasi internal yang kuat. Montenegro memenangkan referendum dengan selisih tipis namun sah, sementara Kazakhstan memastikan elite politik dan keamanan bersatu sebelum deklarasi. STC perlu menunjukkan bahwa aspirasi kemerdekaan bukan hanya proyek elite Aden, tetapi kehendak mayoritas selatan.
Pelajaran kedua adalah manajemen ketakutan pihak pusat. Kazakhstan meyakinkan Rusia bahwa kemerdekaan tidak berarti permusuhan, sementara Montenegro menjamin Serbia soal aset dan warga. STC dapat belajar bahwa jaminan keamanan, ekonomi, dan akses pelabuhan bagi utara akan mengurangi resistensi PLC.
Pelajaran ketiga adalah waktu. Kazakhstan menunggu hingga struktur Uni Soviet benar-benar runtuh, sedangkan Montenegro menunggu momentum regional dan internasional yang tepat. STC menghadapi realitas perang Houthi yang belum selesai, sehingga deklarasi tergesa-gesa justru berisiko kehilangan dukungan global.
Baik PLC maupun STC juga dapat belajar bahwa ekonomi sering lebih menentukan daripada ideologi. Uni Soviet runtuh karena krisis ekonomi kronis, Yugoslavia pecah karena ketimpangan pembangunan. Di Yaman, ketidakadilan ekonomi antara utara dan selatan menjadi bahan bakar utama konflik politik.
Artikel ini menunjukkan bahwa masa depan Yaman tidak hanya ditentukan di medan perang, tetapi juga di ruang pembelajaran sejarah. PLC dihadapkan pada pilihan menjadi “Rusia” yang menerima perubahan secara terkendali, atau “Serbia” yang memaksakan kesatuan dan menuai kehancuran.
Bagi STC, pilihan yang tersedia adalah jalan Montenegro dan Kazakhstan yang bertahap dan legal, atau jalur konfrontatif yang berisiko mengulang tragedi Balkan. Sejarah menunjukkan bahwa kemerdekaan yang damai jarang lahir dari senjata, melainkan dari kesabaran dan legitimasi.
Dalam konteks regional Timur Tengah yang rapuh, dunia internasional cenderung mendukung solusi stabil daripada idealisme sempit. PLC dan STC sama-sama membutuhkan pengakuan global, bantuan ekonomi, dan rekonstruksi pascaperang.
Pada akhirnya, pelajaran terbesar dari Uni Soviet dan Yugoslavia adalah bahwa negara tidak runtuh karena perbedaan, melainkan karena kegagalan mengelola perbedaan tersebut. Yaman kini berdiri di persimpangan yang sama, dengan sejarah sebagai peringatan dan sekaligus panduan.
Jika PLC dan STC mampu membaca sejarah dengan jernih, masa depan Yaman masih memiliki ruang untuk solusi politik yang tidak mengulang bencana masa lalu. Jika tidak, analogi Yugoslavia bisa berubah dari sekadar pelajaran menjadi kenyataan baru di Jazirah Arab.
0 Comments